Kala
Lembayung Senja,Ilusi ku..,
Aku
berjalan menyusuri jalan setapak yang selalu sepi itu. Jalanan ini adalah
tempat faforitku. Jauh sebelum aku mengenal seseorang yang juga sangat
menyukainya. Kupandangi cahaya matahari yang terpantul di permukaan sungai
sepanjang jalan setapak ini, indah sekali. Langit sudah mulai memerah, namun
tak hendak kulangkahkan kakiku lebih cepat untuk meninggalkan tempat ini.
Kuhampiri bangku kayu reyot yang sudah sangat tua, di tepi jalan menghadap ke
Barat. Sudah lama aku tak duduk disini. Kusandarkan tubuhku, menikmati matahari
yang mulai turun perlahan ke peraduannya…
_________________________
“siapa kamu?” Tanyaku heran. Tak biasanya ada anak seumuranku bermain di
jalanan sepi dekat rumahku ini.
“namaku, Cahaya. Salam kenal” jawabnya tersenyum. Belum hilang rasa
penasaranku, dia telah melangkah lebih jauh mendekati bangku kayu di pinggir
sungai, dan duduk di atasnya. Aku mengikutinya dan duduk di samping gadis itu.
Dia memandangku, “tempat ini nyaman ya, pemandangannya sangat indah. Aku suka…”
katanya, seraya membuka kedua tangannya untuk merasakan semilir angin yang
berhembus pelan di antara
dedaunan. “oh ya, aku lupa menyapamu.
Hai Senja” lanjutnya lagi.
Aku terkejut mendengarnya menyebut namaku. Dari mana dia tahu siapa aku? Dia
benar-benar membuatku begitu penasaran.
“lihat, ilalang itu indah bukan?” tanyanya tiba-tiba. Sambil menunjuk ke arah
serumpun ilalang yang tumbuh liar dipinggir sungai. Aku menatap tajam ilalang
itu sambil mengerutkan kening, menurutku ilalang itu tak memiliki sisi
keindahan sama sekali. “ah, lihatlah baik-baik…” katanya tak sabar.
“entahlah…” jawabku, sedikit mengedikkan bahu.
“oh ayolah… ilalang itu indah… lihat saja caranya bergoyang mengikuti irama
angin, indah sekali…” Cahaya memejamkan mata sambil menggoyangkan tubuhnya ke
kiri dan ke kanan perlahan-lahan. Aku mengamati lebih seksama ilalang itu dan
melihat ke arah Cahaya, bergantian. “kita, seperti bunga-bunga ilalang itu…
Yang suatu saat nanti akan terbang bersama angin…” katanya.
“kau yakin setiap manusia itu pasti akan mati?”
“eh, siapa yang bilang mati?” tanyanya. Aku memandangnya heran, meski dia
tidak mengatakan mati, tapi aku yakin itu lah maksud dari ucapannya tadi.
Sedetik kemudian dia tertawa nyaring. Semakin membuatku heran saja… “bercanda…
memang itu maksudku, tapi kita tidak sepenuhnya mati, kita akan tetap hidup
dihati orang-orang yang menyayangi kita…” jelasnya. Tatapan matanya
benar-benar teduh, entah kenapa aku senang bertemu dengannya sore ini.
“kau suka bintang?” tanyaku, hanya ingin tahu. Dia memandangku sambil
tersenyum, dan mengangguk.
“Bintang. Aku sangat menyayanginya, Ia ibuku. Jauh sebelum Ia terbang bersama
angin dan tak pernah kembali lagi” matanya menerawang jauh, membayangkan
sesuatu. Aku benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakannya barusan. “ah, aku
tahu bukan itu bintang yang kamu maksud” jelasnya tersenyum.
“tak apa. Maaf, aku membuatmu mengingat kenangan menyakitkan itu” sesalku.
“bukan menyakitkan kok… aku bahagia meski hanya sebentar menjalani kehidupan
bersama Bintang…” kini matanya berkaca-kaca. Aku tahu, berat rasanya kehilangan
seseorang yang sangat kita cintai.
“lalu… ayahmu?” tanyaku. Aku terlalu penasaran untuk menyimpan pertanyaan ini
sendiri. Ku lihat Cahaya menundukkan kepalanya.
“ayahku sama sepertimu, namanya Senja” jawabnya pelan. Aku terdiam, menunggu
kelanjutan ceritanya. “ia seperti kehilangan hidupnya, sejak ibu pergi. Ibu
adalah segalanya bagi ayah, aku tahu ia rela menukar apapun demi kembalinya
ibu. Meski itu artinya harus kehilangan aku. Sejak itu ayah tak pernah bicara
lagi, ia menutup diri dari dunia luar dan hanya menghabiskan waktu berjam-jam
di dalam kamar dengan computer tuanya” air mata menetes membasahi pipinya. Bisa
kurasakan kepedihan dalam nada suaranya.
“maafkan aku… tak seharusnya aku bertanya seperti itu…”
“sudah kubilang tak apa-apa… setiap manusia pasti mempunyai kehidupannya
masing-masing. Ibuku meninggal karena mendonorkan tulang belakangnya untukku,
yang tak mampu lagi melawan Leukimia dalam tubuhku. Untuk kehidupanku. Meski
rasa bersalah itu terus menghantuiku, aku tak pernah menyesalinya. Tak ada
gunanya. Kini tujuanku hanya, bagaimana membuat ayahku kembali tersenyum”
ungkapnya. Dia kembali memandangku dengan senyumannya yang begitu menyejukkan
hati. Aku membalas senyumannya.
“kamu gadis yang hebat… masih mampu tersenyum dalam penderitaan. Oh ya, kamu
dari mana? Aku tak pernah melihatmu disini sebelumnya…” tanyaku, akhirnya bisa
keluar juga apa yang dari tadi mengganjal pikiranku. Cahaya hanya memandangku
dengan senyumannya. “kenapa?” tanyaku lagi.
“sudah waktunya aku pulang Senja…” jawabnya, bangkit dari tempatnya duduk,
membuat bangku kayu itu berderit ringan.
“tunggu, bisakah kita bertemu lagi? Dimana rumahmu? Disekitar sini? Aku tak
pernah punya teman sebelumnya… maukah kau berteman denganku?” aku tak bisa
memprediksikan bagaimana raut wajahku sekarang ini. Entah mengapa, aku terlalu
takut kehilangannya.
“hey, tenanglah… Aku hanya ingin terbang bersama ilalang itu, tapi tak jauh
kok… nanti aku kembali lagi…” dia kembali tertawa. Apanya yang lucu?!
“aku tak mengerti apa maksudmu, beritahu aku kemana kamu akan pergi? Aku…ingin
ikut bersamamu…” pintaku. Tak pernah aku merasakan ketenangan batin seperti ini
sebelum bertemu dengannya. Meski hanya beberapa menit, dia mampu memahat
kenangan begitu rapi di otakku.
“cahaya. Aku akan pergi ke arah cahaya itu berada… tunggulah aku Senja, aku
pasti kembali. Percayalah…” dia tersenyum, dan berjalan ke arah Selatan,
tempatku datang menghampirinya tadi. Aku hanya membatu di tempatku, tak sanggup
melakukan apapun selain memanggilnya untuk kembali duduk bersamaku. Namun tak
ada gunanya, dia telah pergi sekarang, jauh dari jarak mataku memandang…
________________________
Aku tersadar dari lamunanku. Menyipitkan
mata karena terkena cahaya mentari yang menyilaukan dari ufuk Barat. Sudah
bertahun-tahun aku menunggunya kembali, sesuai dengan pintanya. namun
sepertinya sia-sia saja, dia tidak akan pernah kembali lagi. Aku menyerah.
Bangkit berdiri dari bangku reyot itu dan berjalan pulang. Saatnya menenangkan
pikiranku lagi dengan secangkir kopi panas…
“hai senja” aku berpaling ke arah suara yang memanggil namaku. Jantungku
perpacu cepat, ketika tahu dari mana suara itu berasal. “ah… sudah saatnya kau
pulang ya? Aku telat dong…” nada bicaranya terdengar sedih. Aku masih belum
bisa percaya pada apa yang aku lihat. Namun kali ini aku tak akan tinggal diam,
kuhampiri dia dan memeluknya erat tanpa pikir panjang lagi… Dia benar-benar
kembali…
“Cahaya… aku mohon… jangan pergi lagi…” Isakku dipundaknya…
“tidak. Kali ini aku datang untukmu, jangan khawatir... aku tak akan
membiarkanmu menunggu sendirian lagi…” jawabnya, tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar